by Arie Karimah M_
•Di AS, perusahaan farmasi baru dapat memproduksi obat generik setelah masa paten obat original berakhir. Sebagian perusahaan multinasional mengambil tindakan lebih dini dengan cara memproduksi obat generik mereka sendiri sesaat sebelum masa patennya berakhir, atau memberikan lisensi kepada produsen generik. Hal yang sama tidak berlaku disini
•Di AS, FDA, mensyaratkan obat generik harus bioekivalen dengan produk original. Tingkat ekivalensi ini harus dicantumkan ketika mereka beriklan. Misal: yang terbaik adalah ranking A rated, selanjutnya AB, dst. Oleh karena itu obat generik di AS berani mencantumkan kata-kata seperti “alternative to Ventolin”, “bioequivalent to Bactrim DS” atau “compared to Augmentin syrup” dalam iklan mereka Lihat contoh iklan. Disini seenaknya orang berbicara: obat generik sama dengan obat paten, tanpa data.
Uji BA-BE (bioavailability – bioequivalency) tidak selalu dilakukan. Bayangkan ada obat diabetes seharga Rp. 100 per tablet (beneran seratus rupiah, harga jual lho). Obat ini hanya diminum 1x sehari 1 tablet. Lha terus harga bahan baku & cost of productionnya berapa? Pisang dan bakwan goreng aja harganya paling murah seribu. Makannya nggak cukup satu lagi. Hehehe… Kualitas seperti apa yang bisa diharapkan dari produk dengan harga segitu?
Uji BA-BE (bioavailability – bioequivalency) tidak selalu dilakukan. Bayangkan ada obat diabetes seharga Rp. 100 per tablet (beneran seratus rupiah, harga jual lho). Obat ini hanya diminum 1x sehari 1 tablet. Lha terus harga bahan baku & cost of productionnya berapa? Pisang dan bakwan goreng aja harganya paling murah seribu. Makannya nggak cukup satu lagi. Hehehe… Kualitas seperti apa yang bisa diharapkan dari produk dengan harga segitu?
* Maaf Bu, tapi sepengetahuan saya, semua obat generik di Indonesia yg diregistrasi di BPOM harus mencantumkan data BA/BE meskipun tdk diklaim begitu di brosur/kemasan.
Kalau tentang harga, vendor bahan baku banyak dan vendor dari india/hongkong/cinamemang biasanya lebih murah daripada vendor dari eropa.
Di India sendiri, pemerintahnya malah mendukung produksi obat generik besar2an supaya harga obat bisa lebih terjangkau bagi masyarakat di sana yg notabene pendapatannya rendah.
Dan saya rasa obat generik sangat membantu masyarakat terutama golongan menegah ke bawah dalam hal biaya pengobatan.
!! * saya sudah menduga akan mendapat respon seperti ini, pasti mau bela2in obat paten. Halah, yang mbayar saya ini juga siapa? Hehehe….. Saya ingin bicara, karena saya tidak ingin apoteker (& tentu juga sedikit banyak masyarakat) dibodohi terus-menerus. Katanya apoteker adalah “yang paling ahli tentang obat2an”? Apa bener? Ternyata setelah mereka hadir di ruangan saya akhirnya manggut2 juga dengan fakta2 yang saya sodorkan.
Saya akan balas komentar di atas dengan rentetan komentar, agar yang baca bisa fokus dengan pesan yang ingin saya sampaikan, & mengambil manfaat sesuai kebutuhan masing2
- Bahwa obat generik adalah obat yang ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah, saya setuju 100%. Bahwa pemerintah harus mengendorse & mendukung program ini, I couldn’t agree more. Bukankah memang amanat WHO kepada setiap negara untuk menyediakan obat, “yang bisa terjangkau bahkan oleh masyarakat paling miskin sekalipun” jika mereka sakit?
- Saya juga SANGAT SETUJU seluruh fasilitas kesehatan milik pemerintah: puskesmas, RSUD, RSUP, diisi dengan obat2an generik. Cuma heran aja nemu Norvask di daftar Askes salah satu rumah sakit pemerintah yang buessaaar di Jabar.
- Bahwa India getol dengan obat generik, ya iyalah, mereka punya lebih dari 1,3 milyar manusia, sebagiannya pinter2 banget lagi, dan menjadi salah satu produsen & supplier terbesar active ingredients obat2an, bersama China.
- Berikutnya, apa iya semua obat generik harus diuji BA-BEnya? Bagaimana dengan gambar berikut? Kalau ada yang wajib berarti ada yang nggak wajib dooooong….. Apakah kita punya Orange Book seperti milik FDA yang bisa diakses oleh apoteker & masyarakat, supaya kita tahu profil BE obat2an yang ingin kita ketahui? Kalau ada saya tolong diberi tahu yaaa… Beneran saya pingin lihat & mbaca. Nuhuuun….
!! * Kenapa kita dulu pernah mendengar ada obat generik BERLOGO & tidak? Kayaknya itu satu2nya term di dunia deh. If I’m not mistaken, berlogo ditujukan untuk produksi BUMN & perusahaan besar lainnya. Berarti memang diakui dong sesama generik juga ada bedanya.
Simplifikasi kalimat “obat generik sama dengan obat paten”, mestinya setiap apoteker bisa mengelaborate: sama apanya? Terus bedanya apa? Ralat dulu: term “obat paten” juga sudah salah kaprah. Hehe… Apakah uji BABE dilakukan pada orang SEHAT atau sakit? Berapa PULUH jumlahnya? Berapa HARI dilakukan? Apakah itu menguji efikasi atau efektivitas? Apakah uji klinis dilakukan pada orang sehat atau SAKIT? Berapa RIBU jumlahnya? Berapa TAHUN dilakukan? Apakah itu menguji EFIKASI atau efektivitas?
Ayo siapa mau menjelaskan ke saya persamaan & perbedaan mobil merci dengan mobil karimun?? So para bapak mah pasti pada jago2 menjelaskan atau ada yang mau jelaskan bedanya sepatu Bata & Reebok? Beras IR 64 & Pandawangi Cianjur? Itu semua untuk belajar membedakan obat original, me-too & generik.
Kita lihat contoh berikut ya… Voltaren enteric coated berisi NATRIUM diklofenak, ditujukan untuk OA, relatif lebih aman untuk lambung. Cataflam SUGAR coated berisi POTASSIUM diklofenak, ditujukan untuk nyeri & inflamasi yang memerlukan efek segera, bisa mengiritasi lambung. Lha obat generik ini kok bisa POTASSIUM diklofenak enteric coated? Lantas kalau orang sakit gigi atau nyeri otot minum obat iniu, ditunggu 1 jam tidak ada efek lantas minum tablet ke-2 piye? Kan enteric coated take a much longer time to deliver the onset of action? Apakah produk ini BE secara farmaseutika dengan original productnya?
Selamat belajar kembali. Mengetahui secara pasti beda obat original, me-too & generik could take hours, days, even weeks. Sementara menganggap “semua sama” cukup 5 menit. Saya belum bahas nih tentang status polimorfisa pada acyclovir, atorvastatin kristal vs amorf, amlodipin besylate vs maleate, dst. Jadi kangen guru2ku yang luar biasa pintar: Prof. Fauzi Sjuib & Prof. Sundani Noerono. Salam hormatku untuk mereka berdua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar